Jumat, 08 Februari 2013

15 Fakta Tentang Bruce Lee yang Jarang Orang Ketahui




1. Bruce Lee memiliki cacat bawaan: kaki yang panjang sebelah dan testis yang besar sebelah.

2. Bruce Lee sebenarnya pake kacamata yg cukup tebal, dan dia menggunakan soft lens. Ternyata di Amerika soft lens udah ada dari jaman dahulu.

3. Bruce Lee bukan 100% Chinese, ibunya Grace Lee adalah blasteran chinese & german, jadi bisa dikatakan Bruce Lee memiliki 1/4 darah Jerman.

4. Bruce Lee pertama kali tampil dalam film pada umur 3 bulan. Ia dibawa ayahnya, seorang yg cukup terkenal dalam Chinese Opera untuk tampil pada film pertamanya.

5. Dalam suatu lelang, sebuah surat tulisan tangan Bruce Lee untuk memotivasi dirinya sendiri dgn judul “My Definite Chief Aim” terjual seharga US$29,500.

6. Kecepatan pukulan Bruce Lee adalah 1/500 detik dari jarak sekitar 1 meter ke targetnya.

7. Bruce Lee seorang yang sangat kuat untuk ukurannya, dia dapat melakukan pull up 50 kali dgn satu tangan. Bolo Yeung (aka Chong Li) yang segitu gede tidak pernah menang panco lawan Bruce Lee.

8. Bruce Lee dapat melakukan push up dgn satu tangan hanya dgn 2 jari (telunjuk dan jempol) dan terkadang dengan dua tangan, namun hanya menggunakan jempol saja.

9. Bruce Lee mempopulerkan teknik ‘one inch punch’ yaitu tinju dari jarak 1 inci, dan pada satu turnamen karate, dia mempraktekannya pada seorang juara judo asal Jepang yang memiliki berat sekitar 100 kg. Di sini terlihat pejudo itu ditinju dari jarak 1 inci sampai terangkat kedua kakinya dari lantai.

10. Pada umur 13 tahun Bruce Lee berguru pada Yip Man untuk belajar Wing Chun karena pada waktu itu ia ikut geng dan sering berantem dengan geng lain. Ia berpikir kalau teman-teman gengnya sedang tidak bersamanya, bagaimana jika ia diserang ramai-ramai.

11. Ada tiga murid Bruce Lee yg pernah memenangkan World Karate Champion: Chuck Norris, Joe Lewis dan Mike Stone.

12. Di Amerika Bruce Lee mengajarkan kung fu kepada semua ras dengan tidak pilih-pilih, dan karena itu dia ditantang oleh perguruan kung fu lain dengan tuduhan membocorkan rahasia Chinese Martial Art kepada ras lain.

Bruce Lee menerima tantangan itu dan menghajar wakil dari perguruan tersebut dalam waktu 3 menit. Bruce Lee kecewa, menurut dia perkelahian haruslah berlangsung lebih lama lagi. Dari sini dia mulai berlatih lebih keras lagi, dan menemukan konsep “Jeet Kune Do”.

13. Film Dragon The Bruce Lee Story yang diperankan Jason Scott Lee adalah film yang sangat tidak akurat dalam menggambarkan cerita nyata Bruce Lee. Di film itu Bruce Lee ditendang punggungnya, menjadi lumpuh dan harus duduk di kursi roda.

Dalam kejadian nyata, cedera Bruce Lee disebabkan karena ia berlatih dengan beban yang terlalu berat dan menyebabkan cedera tulang belakang, dan sebenarnya dia tidak pernah duduk di kursi roda.

14. Dalam istirahat dari cedera tulang belakangnya Bruce Lee selama 6 bulan, terciptalah buku “Tao of Jeet Kune Do” yang menjadi best seller.

15. Beberapa waktu sebelum kematian Bruce Lee, pa qua (sejenis jimat yang dipercaya dapat menangkal evil spirits) pada rumah Bruce Lee jatuh tertiup angin.

cerita lucu n' ngakak

Kenapa Keyborad Komputer Hurufnya Tidak Urut?



Pernahkah kita berpikir, mengapa semua mesin ketik & keyboard komputer di dunia ini menggunakan huruf QWERTYUIOP?


Mengapa tidak menggunakan ABCDEFGHIJ? Yang tersusun rapi sesuai abjad sehingga kita tidak perlu mengingat tuts keyboard dengan susunan huruf yg acak dan aneh, yang kita kenal hingga saat ini dengan QWERTY?


Mesin ketik pertama diciptakan dan dipatenkan oleh seorang Amerika, yaitu Christopher Latham Stoles, seorang editor koran yg bekerja di Milwaukee pada thn 1868. Mesin ketik pertama rancangannya sudah mirip seperti skarang, memiliki mekanisme penggulung kertas untuk ganti baris dan bergeser otomatis ketika kita mengetik, dan tentu tidak ketinggalan, tuts keyboard nya. Rancangan pertamanya ini, sesuai dengan pikiran kita semua menggunakan layout keyboard ABCD.


Ternyata layout keyboard sesuai abjad ini menimbulkan masalah, yaitu sering tersangkutnya tuts mesin ketik ketika dipakai mengetik dengan cepat. Kurang lebih 6 tahun Sholes berusaha merevisi susunan huruf pada keyboard untuk meningkatkan efisiensi dalam mengetik dan juga meminimalisir masalah tersangkutnya tuts jika dipakai mengetik cepat.


Bersama donaturnya, James Densmore dan juga Amos Densmore, maka disusunlah suatu susunan huruf keyboard dan mendekati susunan keyboard QWERTY, dengan beberapa revisi terus menerus yg sebenarnya hanya merupakan upaya untuk mereduksi masalah tuts tersangkut.


Hal yang menarik adalah revisi dari huruf R, pada proses penyempurnaan tuts ini, huruf R sempat diletakkan di baris ketiga, kemudian direvisi. Tujuannya adalah mempesona konsumen dalam upaya menjual mesin ketiknya, karena sadar atau tidak, kita bisa mengetik kata "TYPEWRITER" hanya dengan BARIS PERTAMA TUTS KEYBOARD saja !!


Inilah susunan keyboard yg resmi dirilis untuk mesin tiks komersial pertama


Kemudian baris kedua disusun berdasarkan abjad berurut, dikurangi yg sudah dipakai di baris pertama, diantaranya adalah DFGHJKL. Angka 1 & 0 belum ada pada mesin tik ini, karena untuk mengurangi biaya produksi & mempermudah perawatan dengan menggunakan jumlah tuts seminimal mungkin, Biasanya angka 1 diganti dengan L kecil dan angka 0 digantikan dengan huruf O


Lama kelamaan banyak orang yang menyukai dan terbiasa dengan susunan mesin ketik, dan susunan huruf aneh ini menjadi populer, kemudian direvisi berulang-ulang hingga terciptalah mesin ketik saat ini, bahkan dilengkapi dengan banyak fungsi-fungsi tambahan pada saat keyboard mulai dipakai di komputer.


Ada banyak alternatif susunan huruf yang coba diajukan untuk meningkatkan efisiensi pengetikan. Alternatif diajukan berdasarkan kemungkinan frase atau kata yang bisa disusun berdasarkan huru-huruf tertentu, contohnya adalah layout keyboard dari Blickensderfer yg mencantumkan DHIATENSOR pada bagian awal keyboard, dan diklaim bisa menyusun 70% frase dan kata-kata Bahasa Inggris hanya dari susunan huruf tadi.






















Komedi, Kritik ![1]
Hikmat Budiman
Peneliti Senior, The Interseksi Foundation
Mengapa Susilo Bambang Yudhoyono sering mengadakan konferensi pers di halaman belakang Istana Negara hanya untuk menanggapi kritik lawan-lawan politiknya yang sebenarnya tidak begitu penting? Mengapa gaya egaliter Jusuf Kala selama kampanye Pemilu pemilihan presiden 2009 yang lalu justru banyak dilihat sebagai penampilan seorang calon pemimpin yang kurang berwibawa? Ilmuwan politik atau ahli teori sosial mungkin bisa menjelaskannya dari banyak sisi. Tapi saya curiga, jangan-jangan itu semua bersangkutpaut dengan komedi dan relasinya dengan tradisi kritik politik dalam (sebagian) masyarakat Indonesia.
Tanpa harus melihat banjir program-program variety showdan komedi situasi pada stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini, komedi pasti sudah lama menjadi bagian sangat penting dalam peradaban umat manusia. Kalau Aristotle benar, manusia adalah satu-satunya mahkluk yang bisa diajak tertawa. Melalui komedi kita seperti mendapatkan saluran untuk dorongan-dorongan dari dalam jiwa yang niscaya tersumbat oleh norma, oleh dogma, dan hipokrisi. Dalam komedi ketidakpatutan sosial justru menjadi norma, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama, dan penyimpangan (indecorum) sosial dan estetik merupakan keharusan inheren, sehingga sadar atau tidak kita selalu berada dalam posisi berguncang tanpa ikatan-ikatan standar kultural yang lazim. Karena itu, mereka yang merasa berasal dari kelas “terhormat” cenderung melihat komedi sebagai representasi dari kehidupan orang-orang kelas menengah ke bawah. Komedi dianggap bisa menghadirkan segala jenis ketidakpatutan sikap dan prilaku kelas sosial semacam itu. Jika demikian maka komedi juga merupakan fungsi dari perbedaan kelas sosial.
Tapi komedi bisa juga dilihat lebih dari sekedar ajakan untuk tertawa. Hegel memuja karya-karya komedi yang ditulis oleh Aristophanes sebagai representasi yang sangat gemilang tentang kesenangan dan kebebasan sejati umat manusia. Dalam Lectures on the History of Philosophy, ia bahkan menyebut Aristophanes menyajikan “a freedom we would not dream of were it not historically authenticated.” Bagi Hegel komedi memiliki signifikansi spiritual yang sama dengan kenegarawanan (statemenship),filsafat dan tragedi. Karya Aristophanes dianggap penting karena tema-temanya, yakni tentang negara, filsafat, perang dan perdamaian, gender, dan relasi antara dewa-dewa dengan manusia, itu benar-benar substansial, sehingga komedinya bukan sekedar dan melampaui batas kelucuan dan hiburan belaka (Freydberg, 2008: 3).
Saya dan sebagian terbesar orang Indonesia lainnya, tentu saja, belum pernah membaca karya-karya Aristophanes. Lagipula, apa yang membuat lucu atau tertawa pada dasarnya sangat ditentukan oleh kultur masing-masing. Yang akrab dengan kita adalah kisah-kisah tentang orang-orang pandir yang jenaka seperti si Kabayan atau lawakan-lawakan bodoh di layar TV saat ini. Konotasi konseptual kita tentang komedi, berbeda dengan pujian Hegel pada karya-karya Aristophanes di atas, adalah hiburan yang lucu tidak peduli apakah di dalamnya ada pesan-pesan tertentu atau tidak. Komedi bagi sebagian dari kita adalah hiburan yang harus mudah dinikmati dan, yang pasti, harus bisa memancing tawa penonton. Singkatnya, ia terlanjur secara serampangan diidentikan dengan lawak. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelawak disamakan dengan badut atau alan-alan.
Kalau pun komedi mungkin memang mudah dinikmati, ia tidaklah mudah didefinisikan. Pertanyaan tentang apa itu komedi, akan mendapatkan jawaban yang tidak pernah memuaskan. Ini bukan hanya karena begitu banyaknya ragam bentuk komedi, tapi juga karena keterbatasan masing-masing definisi. Coba perhatikan beberapa definisi formal ini. Untuk entri kata “komedi”, The Concise Oxford Dictionary, misalnya, memulainya sebagai berikut:
comedy, n. Stage-play of light, amusing and often satirical character, chiefly representing everyday life, & with happy ending (cf. TRAGEDY);
Sebagai perbandingan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 memberi batasan berikut:
komedi /komédi/n sandiwara yg penuh dng kelucuan-kelucuan (yg tidak masuk akal); sandiwara gembira komidi n 1 pertunjukan cerita yg dimainkan oleh orang; sandiwara; 2pertunjukan
Batasan yang relatif lebih luas justru ada pada KBBI terbitan 1998:
komedi//komédi/ n sandiwara ringan yang penuh dng kelucuan-kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dng bahagia;
--banyolankomedi khusus untuk membuat penonton tertawa (tanpa berisi pesan apa-apa); --romantik komedi yang berisi petualangan dan pendewaan cinta oleh para pelakunya;--stambulkomedi berbahasa Melayu yang menceritakan Hikayat 1001 Malam.
Tiga patokan yang banyak disepakti untuk melihat komedi, seperti dalam definisi versi The Concise Oxford Dictionary dan KBBI di atas, adalah: 1) menerbitkan gelak tawa (the generation of laughter); 2) akhir bahagia (the presence of happy ending), dan; 3) representasi dari kehidupan sehari-hari (representation of everyday life). Tapi bahkan tiga patokan ini pun tidak serta merta memudahkan kita menetapkan apakah sebuah karya yang bisa memancing tawa atau berakhir dengan bahagia sebuah komedi atau bukan. Kalau patokan keberhasilan komedi adalah memancing tawa, kita tidak bisa membedakan antara komedi dengan humor biasa atau bahkan dengan gas yang bisa merangsang syaraf ketawa (laughing gas).Sementara patokan happy ending dan representasi kehidupan sehari-hari jelas bukan ciri eksklusif komedi.
Asal-usul kata komedi umumnya disepakati berasal dari gabungan dua kata Yunani “kômos” atau “kômaî”, dan “oda”. Dalam bahasa Indonesia padanan untuk kata“kômos”(mungkin) bisa menunjuk baik pada pestapora maupun orang-orang yang berpestapora. Sementara ‘kômaî’berasal dari kata yang merujuk pada kampung di pedesaan. Kata “oda” disepakati dapat diterjemahkan menjadi “lagu”. Maka komedi adalah sebuah himne selebrasi atau, dalam bahasa Dante, “sebuah lagu kampung(an)” (a rustic song) (Stott, 2005: 3-4).Dengan demikian, secara etimologis, komedi memang berurusan—atau seharusnya berurusan—dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang inferior. Sejak Aristotle, komedi selama berabad-abad adalah genre yang paling pas atau tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Mereka yang kuasanya terbatas dan lokal, dan yang adat, prilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar atau kedua-duanya oleh tatanan kelas di atasnya (Neale dan Krutnik, 1990: 11-12).
Para kritikus dan sejarawan banyak yang setuju bahwa komedi lebih merupakan produk dari lingkungan pedesaan daripada kawasan urban, dan muncul bersamaan dengan ritual-ritual musim kesuburan agraris. Di zaman Yunani Kuno, komedi juga dianggap ada kaitannya dengan kepercayaan mereka pada dewa Dionysus. Dalam mitologi Yunani, Dionysus alias Bakkhus adalah anak Zeus dari perempuan manusia biasa, Samele. Hampir mati bersama ibunya di tangan Zeus sendiri, Dionysus diusir dari kota ke wilayah pinggiran, dan ia lantas mengembara bersama para satir menyebrangi Afrika Utara dan Asia kecil (Smith, 1936: 110). Dionysus dianggap sebagai dewa kesuburan alam, yang mati dan lahir kembali setiap tahun, dan berasosiasi pada ritus-ritus keagamaan yang cenderung liar dan ecstatic. Dalam tradisi berikutnya, Dionysus bukan lagi semata diasosiasikan sebagai pembawa kesuburan organik, melainkan juga sebagai dewa anggur (dalam arti penganjur mabuk-mabukan) dan telah memberi banyak inspirasi pada kreativitas musik dan puisi. Sosok Dionysus inilah yang dianggap memiliki pengaruh signifikan pada prinsip-prinsip festivitas, inversi, dan travesti yang bisa kita temukan dalam komedi hingga saat ini.
Dalam sejarah literer tentang komedi, Dionysus adalah patron untuk Lenaea dan “Great Dionysia”,festival theater tahunan warga Athena. Semula Dionysia hanya untuk kategori tragedi, dan komedi dipertunjukan dalam Lenaea di musim dingin. Sejak tahun 486 sebelum Masehi, sebuah kompetisi komedi mulai dilakukan pada festival Dionysia. Yang juga penting dari festival Dionysia ini adalah bagaimana divisi dan hierarki sosial dalam masyarakat dihadirkan dalam bentuk yang kasat mata antara yang duduk nonton dan yang ikut perlombaan. Perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga muncul melalui debat-debat yang dipertontonkan dalam pertunjukan (Palmer, 1994 dalam Stott, 2005: 4-5).
Salah satu tradisi komedi lama dalam khasanah kebudayaan Indonesia bisa ditemukan pada sosok-sosok para punakawan dalam tradisi pewayangan di (pulau) Jawa, baik versi Mahabharata maupun Ramayana. Para punakawan (Semar, Bagong (Cepot), Petruk (Dawala), dan Gareng) yang sama sekali tidak ada dalam versi asli kisah klasik ini di India, paling tidak memperlihatkan beberapa sisi yang bisa kita cermati tentang relasi antara komedi dan politik dalam tradisi masyarakat di Jawa.
Dalam tradisi wayang Jawa (orang, kulit, golek), tokoh-tokoh punakawan biasanya disepakati sebagai representasi orang kebanyakan. Jabatan tertingginya hanya seorang lurah (kepala desa), sedangkan anak-anaknya tidak memiliki jabatan politik yang jelas selain sebagai hamba sahaya para bangsawan (Pandawa dalam Mahabharata atau komplotan Rama dalam Ramayana). Saya tidak ingin mengulang ulasan tentang apa makna politik tokoh-tokoh tersebut dalam konteks filsafat Jawa tentang relasi kuasa hamba dan tuan, melainkan ingin melihat posisi komedi dalam tradisi kritik politik Indonesia melalui para punakawan tersebut.
Orang Jawa percaya bahwa Semar sebenarnya adalah seorang dewa yang sedang menjalani hukuman orangtuanya. Coba perhatikan kesejajaran antara Semar dengan Dionysus yang juga seorang dewa. Semar dikeluarkan dari swargaloka dan hidup di mayapada bersama manusia biasa. Semar dan anak-anaknya tinggal tidak di kota pusat kerajaan Amarthapura tapi di pelosok. Kata orang Sunda, nama desanya adalah Karangtumaritis. Mengapa Semar dan anak-anaknya tinggal di desa, karena sikap, tingkahlaku dan nilai-nilai yang dianutnya tidak kompatibel dengan tatakrama di lingkungan istana kerajaan. Moralnya hampir sama dengan kisah tentang pengusiran Dionysus dari kota ke kawasan pinggiran, dan tentang peminggiran para pengikutnya dari juridiksi perkotaan dan pengkategorian prilaku mereka ke dalam tingkah laku yang tidak bisa diterima di dalam kota.
Salah satu ciri paling mudah diingat tentang para punakawan dalam wayang di (pulau) Jawa adalah gambaran tentang kehidupan mereka yang egaliter. Secara visual dan verbal mereka adalah tokoh-tokoh lucu, baik tingkahlaku dan ucapannya maupun bentuk fisik tubuhnya. Secara fisik, semar dan anak-anaknya adalah bentuk-bentuk deformasi dari bentuk standar tokoh-tokoh wayang Mahabharata dan Ramayana. Mereka, dalam kalimat lain, adalah para devian, baik dalam bentuk fisik maupun pola naratifnya. Dengan demikian, para punakawan tampaknya memang diciptakan bukan hanya sebagai selingan lucu di tengah paparan cerita yang sarat moral, heroisme, dan pasi, dan hipokrisi, melainkan juga semacam subversi terhadap tatanan.
Dalam lakon-lakon carangan, yakni kisah-kisah yang tidak didasarkan pada Mahabharata atau Ramayana melainkan kreasi para dalang sendiri, Semar atau anak-anaknya bisa berubah bentuk menjadi ksatria yang tampan. Mereka bahkan bisa pula naik ke puncak struktur kekuasaan menjadi raja seperti dalam lakon Petruk Dadi Ratu. Ketika berubah bentuk Semar dan anak-anaknya bisa memarahi, memberi kritik kepada tuan-tuan mereka, hal yang tidak mungkin terjadi dalam alur cerita yang normal. Lakon-lakon semacam itu sering ditafsirkan sebagai pesan moral bahwa rakyat adalah penguasa tertinggi, seperti pengandaian dalam teori dasar tentang demokrasi. Sosok punakawan adalah upaya untuk membentuk sebuah perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan.
Tapi invensi tokoh punakawan bisa juga dilihat dari sudut yang berbeda. Kalau benar bahwa wayang adalah kreasi para Wali penyebar Islam di Jawa, kita tahu bahwa sebagian besar dari mereka adalah bagian integral dari kekuasaan raja-raja Jawa. Jika demikian, maka patut pula diduga bahwa Semar dan keluarganya diciptakan bukan sekedar sebagai representasi dari rakyat, melainkan juga sebagai sebuah ruang untuk hal-hal yang vulgar, subversif, lucu, yang sering menyindir kekuasaan, yang tidak pantas menjadi bagian dari kehidupan keluarga kerajaan. Para kesatria adalah pribadi-pribadi yang agung, berperangai halus, santun, dan pasti berjarak dengan rakyatnya untuk menjaga wibawa dan kehormatan. Artinya, tradisi cerita wayang memberi ruang untuk kritik, untuk segala ketidakpatutan, dan untuk sikap-sikap egaliter, tapi ruang itu terpisah secara kategoris dari pusat wacana politik kekuasaan.
Tempat untuk kritik bukan di dalam lingkungan pusat kuasa tapi di pinggiran, seperti Dionysus dan para pengikutnya diseklusikan ke pinggiran kota dalam mitologi Yunani. Tuntunan yang diajarkan wayang adalah: kalau mau jadi penguasa, jadilah ksatria yang agung, santun, dan pandai menjaga wibawa; Tingkah dan ucapan yang kocak atau lucu, dan sikap egaliter bukan sikap dan prilaku para kesatria melainkan para punakawan, yang vulgar dan yang kuasanya terbatas dan lokal (bukan nasional).
Dalam wayang atau mitologi Yunani, tabiat para penguasa tetap sama saja: mereka tidak suka kepada kritik atau sindiran yang tajam dan subversif. Mereka cenderung menganggap dirinya terlampau agung, sehingga kritik kalau dibiarkan akan menganggu aura wibawanya. Kritik didasari asumsi bahwa antara yang dikritik dan yang mengkritik berada pada posisi sederajat. Egalitarianisme dalam tradisi kritik politik adalah subversi pada tatanan yang dicirikan oleh hierarki sosial yang ketat. Yang egaliter bukan sosok pemimpin yang agung, tapi tokoh-tokoh punakawan atau karakter-karakter dalam komedi, dan tempatnya bukan di kota pusat kuasa melainkan di pinggiran. Tapi mereka yang di pinggiran sesekali perlu pula dipertunjukan di kota, agar terbentuk sebuah ilusi seolah-olah seluruh warga terlibat secara bersama-sama dalam isu-isu pemerintahan. Untuk itu warga Athena memiliki tradisi festival tahunan Lenaea dan Dionysia untuk komedi dan tragedi.
Orang Indonesia tidak memiliki hal yang serupa dengan Lenaea dan Dionysia. Tapi bukankah sebuah rasa tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga niscaya dibangkitkan dalam ritus lima tahunan demokrasi kita? Dalam plebisit umum lima tahunan itu kita dibuat percaya bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, meskipun dalam praktek kita tetap tinggal di pinggiran wacana kekuasaan seperti para punakawan. Dan ritus itu sudah membuktikan bahwa yang dipilih mayoritas rakyat adalah sosok yang memberi impresi kesantunan dan kewibawaan, bukan yang egaliter dan berani melakukan kritik. Saya tidak tahu apakah itu sebuah komedi atau tragedi.
Rujukan
Freydberg, Bernard, Philosophy & Comedy. Aristophanes, Logos, Eros(Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 2008).
Konstan, David, Greek Comedy and Ideology(Oxford and New York: Oxford University Press, 1995).
Neale, Steve, and Frank Krutnik, Popular Film and Television Comedy (London and New York: Routledge, 1990).
Stott, Andrew, Comedy (New York and London: Routledge, 2005).
Smiths, Sir William, Everyman’s Smaller Classical Dictionary (London: J. M. Dent & Sons, 1936).
Wagg, Stephen (ed), Because I Tell a Joke or Two. Commedy, Politics and Social Difference (New York and London: Routledge, 1998).

Kamis, 07 Juni 2012

Komunitas Marjinal Urakan, Tapi Anti-Penindasan



SIANG itu, kereta rel listrik (KRL) ekonomi jurusan Bekasi – Jakarta, berhenti di Stasiun Kereta Api (KA) Jatinegara, Jakarta Timur. Serombongan anak muda berpakaian nyleneh dan terkesan urakan naik ke dalam gerbong

Potongan rambut gaya mohawk ala suku Indian, celana jins ketat dan baju lusuh, tak ketinggalan jaket kulit hitam, menghiasi tubuh-tubuh kerempeng mereka. Tak ketinggalan pula sepatu boots, rantai dan spike juga berbagai pin melekat di jaket, dan tas mereka.

Melihat busana serta penampilan mereka secara keseluruhan, tersirat kesan bahwa mereka adalah sekelompok anak muda yang bersifat antikemapanan, antisosial, biang kerusuhan, suka berbuat kriminal, pemabuk dan lain-lain. Tak heran jika banyak orang (penumpang) memandang sinis dan curiga ke arah anak-anak muda yang dikenal sebagai Komunitas Marjinal (punk-nya Indonesia) itu.

Saat mereka melintas di dalam gerbong yang sedang tidak penuh sesak itu, seorang ibu hamil nyeletuk sambil membuang muka, “Amit-amit, jangan sampe anakku kayak gitu”. Dan celetukan itu agaknya tertangkap kuping salah seorang rombongan itu. Anak-anak muda punky itu bukan marah atau tersinggung. Tapi celetukan tadi hanya dibalas dengan senyum manis oleh salah seorang di antara mereka.

Banyak orang mengira komunitas yang lahir dari gerakan anak muda yang berasal dari golongan pekerja di London, Inggris ini adalah komunitas yang dekat dengan tindak kejahatan (kriminal). Komunitas Marjinal itu dipandang sebagai tempat sekumpulan anak muda yang berbahaya, bahkan pernah diisukan sebagai tempat berkumpulnya pengikut setan. Ck..ck..ck…

Sebenarnya Komunitas Marjinal itu seperti apa? Di Indonesia, Komunitas Marjinal lahir tak terlepas dari kondisi masyarakat yang tertindas, mengalami masalah ekonomi dan keuangan gara-gara kemerosotan moral yang diperlihatkan para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Komunitas yang notabene beranggotakan anak muda ini lebih mengaktualisasikan dirinya menyebar ke berbagai sub-komunitas seperti, Taring Babi, AFRA (Anti Fasis Anti Rasis), dan Tempe Quality.

Marjinal sebenarnya adalah komunitas yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut melawan penindasaan. Dengan berlandaskan pada keyakinan We can do it ourselves, mereka melakukan perlawanan dengan cara-cara unik, aktif, kreatif, dan tentunya, adil. Cara-cara itu seperti lewat graffiti, cukil, sablun, emblem, pin. Rumah Komunitas Marjinal, selain sebagai home base, juga sebagai media pendidikan dan distro.

Aktivitas seharian komunitas ini biasanya diisi dengan bermain musik, sebab musik bagi mereka adalah media dan cara untuk mengekspresikan diri dan “ideologi”. Lirik-lirik lagu mereka bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan lain-lain.

Selain bermusik, Marjinal juga terlibat aktif dalam gerakaan perlawanan terhadap sistem tiran yang menghegemoni. Marjinal juga sering melakukan pengorganisiran dan bekerja sama dengan komunitas lain.

Meski komunitas ini dijauhi banyak orang, namun di kalangan anak muda, komunitas ini sangatlah digemari. Entah karena mereka benar-benar mengerti betul apa seluk-beluk tentang marjinal, atau sekadar ikut-ikutan. Namun yang jelas, ini adalah potret anak muda kita, karena itu seharusnya tak kita pandang nista apalagi mencibir dan meminggirkan mereka.

cinta negri sendiri

jangan kau tanyakan seberapa kami bisa menghapal undang undang… jangan kau tanyakan seberapa kami bisa mengikuti aturan aturan pmemerintah yang ada… jangan kau tanyakan berapa lagu kebangsaan yang bisa kami hapal,, karena kami tidak bisa menjawab semua itu karena kami memang tidak bisa untuk menghapal dan memnghormati aturan aturan yang berlaku selama ini…
kami hanyalah anak idonesia anak2 pertiwi yang tercampak dari peredaran dunia yang yang penuh dengan etika kaku… kebebasan kami dianggap sebagai sesuatu yang hina lebih hina dari cara para teroris merakit bom untuk membunuh bangsa ini…kami bangga dengan kehinaan kami sebagai masyarakat marjinal yang terpinggiran..karena dengan kehinaan kami, kami tidak merusak dan membunuh orang laen… dengan kehinaan kami kami berkarya… karena kami percaya seorang perusak bukan dari kalangan kami yang di anggap hina.. tapi dari kalangan mapan, kalangan yang di akui di masyarakat dan menjadi panutan sebagian orang, merekalah pembunuh massal, mereka provokator sebenarnya… karena mereka raksasa yang ingin menghancurkan bangsa ini… dan mencampakan orang orang pinggiran dan termarjinalkan….
tapi lupakan itu semua karena aku kamu dan kami hanya cinta indonesia… kenapa? karena cinta kami terhadap indonesia tidak dengan membenci bangsa laen, kami hanya kebetulan lahir di bumi pertiwi ini yang telah mengajarkan dan mengenalkan kami cinta dan persahabatan sejati… cinta kami untuk indonesia bukan batas teritorial lintas negara atau piagam PBB… cinta kami untuk indonesia karena kami lahir di sini….
tapi….. kenapa dengan indonesiaku yang ada di arab saudi,, TKI2 yang terlantar, di perkosa,dicambuk di siksa…..
TKI yang ada di malaysia, di siram air panas, di bunuh, dan saudara saudara kami yang ada di luar sana…. sebagai pahlawan devisa yang telah banyak menyumbangkan banyak uang untuk bangsa ini rakyat ini, dan para koruptor2 licik ini!!
tapi lupakan lah… karena kalian para TKI tidak memberi kenuntungan apa2 untuk elite elite politik sehingga mereka enggan untuk menoleh kalian… terimalah nasibmu kawan…. karena seberapapun kalian menangis, kalian akan tetap di campakan.. hingga peti mati kalian datang dan di sambut di media berita sebagai TKI yang mati… itu saja ! dan kasus pun di tutup !!
kami cinta indoneisa !!!