Hikmat Budiman
Peneliti Senior, The Interseksi Foundation
Mengapa Susilo Bambang Yudhoyono sering mengadakan konferensi pers di halaman belakang Istana Negara hanya untuk menanggapi kritik lawan-lawan politiknya yang sebenarnya tidak begitu penting? Mengapa gaya egaliter Jusuf Kala selama kampanye Pemilu pemilihan presiden 2009 yang lalu justru banyak dilihat sebagai penampilan seorang calon pemimpin yang kurang berwibawa? Ilmuwan politik atau ahli teori sosial mungkin bisa menjelaskannya dari banyak sisi. Tapi saya curiga, jangan-jangan itu semua bersangkutpaut dengan komedi dan relasinya dengan tradisi kritik politik dalam (sebagian) masyarakat Indonesia.
Tanpa harus melihat banjir program-program variety showdan komedi situasi pada stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini, komedi pasti sudah lama menjadi bagian sangat penting dalam peradaban umat manusia. Kalau Aristotle benar, manusia adalah satu-satunya mahkluk yang bisa diajak tertawa. Melalui komedi kita seperti mendapatkan saluran untuk dorongan-dorongan dari dalam jiwa yang niscaya tersumbat oleh norma, oleh dogma, dan hipokrisi. Dalam komedi ketidakpatutan sosial justru menjadi norma, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama, dan penyimpangan (indecorum) sosial dan estetik merupakan keharusan inheren, sehingga sadar atau tidak kita selalu berada dalam posisi berguncang tanpa ikatan-ikatan standar kultural yang lazim. Karena itu, mereka yang merasa berasal dari kelas “terhormat” cenderung melihat komedi sebagai representasi dari kehidupan orang-orang kelas menengah ke bawah. Komedi dianggap bisa menghadirkan segala jenis ketidakpatutan sikap dan prilaku kelas sosial semacam itu. Jika demikian maka komedi juga merupakan fungsi dari perbedaan kelas sosial.
Tapi komedi bisa juga dilihat lebih dari sekedar ajakan untuk tertawa. Hegel memuja karya-karya komedi yang ditulis oleh Aristophanes sebagai representasi yang sangat gemilang tentang kesenangan dan kebebasan sejati umat manusia. Dalam Lectures on the History of Philosophy, ia bahkan menyebut Aristophanes menyajikan “a freedom we would not dream of were it not historically authenticated.” Bagi Hegel komedi memiliki signifikansi spiritual yang sama dengan kenegarawanan (statemenship),filsafat dan tragedi. Karya Aristophanes dianggap penting karena tema-temanya, yakni tentang negara, filsafat, perang dan perdamaian, gender, dan relasi antara dewa-dewa dengan manusia, itu benar-benar substansial, sehingga komedinya bukan sekedar dan melampaui batas kelucuan dan hiburan belaka (Freydberg, 2008: 3).
Saya dan sebagian terbesar orang Indonesia lainnya, tentu saja, belum pernah membaca karya-karya Aristophanes. Lagipula, apa yang membuat lucu atau tertawa pada dasarnya sangat ditentukan oleh kultur masing-masing. Yang akrab dengan kita adalah kisah-kisah tentang orang-orang pandir yang jenaka seperti si Kabayan atau lawakan-lawakan bodoh di layar TV saat ini. Konotasi konseptual kita tentang komedi, berbeda dengan pujian Hegel pada karya-karya Aristophanes di atas, adalah hiburan yang lucu tidak peduli apakah di dalamnya ada pesan-pesan tertentu atau tidak. Komedi bagi sebagian dari kita adalah hiburan yang harus mudah dinikmati dan, yang pasti, harus bisa memancing tawa penonton. Singkatnya, ia terlanjur secara serampangan diidentikan dengan lawak. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelawak disamakan dengan badut atau alan-alan.
Kalau pun komedi mungkin memang mudah dinikmati, ia tidaklah mudah didefinisikan. Pertanyaan tentang apa itu komedi, akan mendapatkan jawaban yang tidak pernah memuaskan. Ini bukan hanya karena begitu banyaknya ragam bentuk komedi, tapi juga karena keterbatasan masing-masing definisi. Coba perhatikan beberapa definisi formal ini. Untuk entri kata “komedi”, The Concise Oxford Dictionary, misalnya, memulainya sebagai berikut:
comedy, n. Stage-play of light, amusing and often satirical character, chiefly representing everyday life, & with happy ending (cf. TRAGEDY);
Sebagai perbandingan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 memberi batasan berikut:
komedi /komédi/n sandiwara yg penuh dng kelucuan-kelucuan (yg tidak masuk akal); sandiwara gembira komidi n 1 pertunjukan cerita yg dimainkan oleh orang; sandiwara; 2pertunjukan
Batasan yang relatif lebih luas justru ada pada KBBI terbitan 1998:
komedi//komédi/ n sandiwara ringan yang penuh dng kelucuan-kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dng bahagia;
--banyolankomedi khusus untuk membuat penonton tertawa (tanpa berisi pesan apa-apa); --romantik komedi yang berisi petualangan dan pendewaan cinta oleh para pelakunya;--stambulkomedi berbahasa Melayu yang menceritakan Hikayat 1001 Malam.
Tiga patokan yang banyak disepakti untuk melihat komedi, seperti dalam definisi versi The Concise Oxford Dictionary dan KBBI di atas, adalah: 1) menerbitkan gelak tawa (the generation of laughter); 2) akhir bahagia (the presence of happy ending), dan; 3) representasi dari kehidupan sehari-hari (representation of everyday life). Tapi bahkan tiga patokan ini pun tidak serta merta memudahkan kita menetapkan apakah sebuah karya yang bisa memancing tawa atau berakhir dengan bahagia sebuah komedi atau bukan. Kalau patokan keberhasilan komedi adalah memancing tawa, kita tidak bisa membedakan antara komedi dengan humor biasa atau bahkan dengan gas yang bisa merangsang syaraf ketawa (laughing gas).Sementara patokan happy ending dan representasi kehidupan sehari-hari jelas bukan ciri eksklusif komedi.
Asal-usul kata komedi umumnya disepakati berasal dari gabungan dua kata Yunani “kômos” atau “kômaî”, dan “oda”. Dalam bahasa Indonesia padanan untuk kata“kômos”(mungkin) bisa menunjuk baik pada pestapora maupun orang-orang yang berpestapora. Sementara ‘kômaî’berasal dari kata yang merujuk pada kampung di pedesaan. Kata “oda” disepakati dapat diterjemahkan menjadi “lagu”. Maka komedi adalah sebuah himne selebrasi atau, dalam bahasa Dante, “sebuah lagu kampung(an)” (a rustic song) (Stott, 2005: 3-4).Dengan demikian, secara etimologis, komedi memang berurusan—atau seharusnya berurusan—dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang inferior. Sejak Aristotle, komedi selama berabad-abad adalah genre yang paling pas atau tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Mereka yang kuasanya terbatas dan lokal, dan yang adat, prilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar atau kedua-duanya oleh tatanan kelas di atasnya (Neale dan Krutnik, 1990: 11-12).
Para kritikus dan sejarawan banyak yang setuju bahwa komedi lebih merupakan produk dari lingkungan pedesaan daripada kawasan urban, dan muncul bersamaan dengan ritual-ritual musim kesuburan agraris. Di zaman Yunani Kuno, komedi juga dianggap ada kaitannya dengan kepercayaan mereka pada dewa Dionysus. Dalam mitologi Yunani, Dionysus alias Bakkhus adalah anak Zeus dari perempuan manusia biasa, Samele. Hampir mati bersama ibunya di tangan Zeus sendiri, Dionysus diusir dari kota ke wilayah pinggiran, dan ia lantas mengembara bersama para satir menyebrangi Afrika Utara dan Asia kecil (Smith, 1936: 110). Dionysus dianggap sebagai dewa kesuburan alam, yang mati dan lahir kembali setiap tahun, dan berasosiasi pada ritus-ritus keagamaan yang cenderung liar dan ecstatic. Dalam tradisi berikutnya, Dionysus bukan lagi semata diasosiasikan sebagai pembawa kesuburan organik, melainkan juga sebagai dewa anggur (dalam arti penganjur mabuk-mabukan) dan telah memberi banyak inspirasi pada kreativitas musik dan puisi. Sosok Dionysus inilah yang dianggap memiliki pengaruh signifikan pada prinsip-prinsip festivitas, inversi, dan travesti yang bisa kita temukan dalam komedi hingga saat ini.
Dalam sejarah literer tentang komedi, Dionysus adalah patron untuk Lenaea dan “Great Dionysia”,festival theater tahunan warga Athena. Semula Dionysia hanya untuk kategori tragedi, dan komedi dipertunjukan dalam Lenaea di musim dingin. Sejak tahun 486 sebelum Masehi, sebuah kompetisi komedi mulai dilakukan pada festival Dionysia. Yang juga penting dari festival Dionysia ini adalah bagaimana divisi dan hierarki sosial dalam masyarakat dihadirkan dalam bentuk yang kasat mata antara yang duduk nonton dan yang ikut perlombaan. Perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga muncul melalui debat-debat yang dipertontonkan dalam pertunjukan (Palmer, 1994 dalam Stott, 2005: 4-5).
Salah satu tradisi komedi lama dalam khasanah kebudayaan Indonesia bisa ditemukan pada sosok-sosok para punakawan dalam tradisi pewayangan di (pulau) Jawa, baik versi Mahabharata maupun Ramayana. Para punakawan (Semar, Bagong (Cepot), Petruk (Dawala), dan Gareng) yang sama sekali tidak ada dalam versi asli kisah klasik ini di India, paling tidak memperlihatkan beberapa sisi yang bisa kita cermati tentang relasi antara komedi dan politik dalam tradisi masyarakat di Jawa.
Dalam tradisi wayang Jawa (orang, kulit, golek), tokoh-tokoh punakawan biasanya disepakati sebagai representasi orang kebanyakan. Jabatan tertingginya hanya seorang lurah (kepala desa), sedangkan anak-anaknya tidak memiliki jabatan politik yang jelas selain sebagai hamba sahaya para bangsawan (Pandawa dalam Mahabharata atau komplotan Rama dalam Ramayana). Saya tidak ingin mengulang ulasan tentang apa makna politik tokoh-tokoh tersebut dalam konteks filsafat Jawa tentang relasi kuasa hamba dan tuan, melainkan ingin melihat posisi komedi dalam tradisi kritik politik Indonesia melalui para punakawan tersebut.
Orang Jawa percaya bahwa Semar sebenarnya adalah seorang dewa yang sedang menjalani hukuman orangtuanya. Coba perhatikan kesejajaran antara Semar dengan Dionysus yang juga seorang dewa. Semar dikeluarkan dari swargaloka dan hidup di mayapada bersama manusia biasa. Semar dan anak-anaknya tinggal tidak di kota pusat kerajaan Amarthapura tapi di pelosok. Kata orang Sunda, nama desanya adalah Karangtumaritis. Mengapa Semar dan anak-anaknya tinggal di desa, karena sikap, tingkahlaku dan nilai-nilai yang dianutnya tidak kompatibel dengan tatakrama di lingkungan istana kerajaan. Moralnya hampir sama dengan kisah tentang pengusiran Dionysus dari kota ke kawasan pinggiran, dan tentang peminggiran para pengikutnya dari juridiksi perkotaan dan pengkategorian prilaku mereka ke dalam tingkah laku yang tidak bisa diterima di dalam kota.
Salah satu ciri paling mudah diingat tentang para punakawan dalam wayang di (pulau) Jawa adalah gambaran tentang kehidupan mereka yang egaliter. Secara visual dan verbal mereka adalah tokoh-tokoh lucu, baik tingkahlaku dan ucapannya maupun bentuk fisik tubuhnya. Secara fisik, semar dan anak-anaknya adalah bentuk-bentuk deformasi dari bentuk standar tokoh-tokoh wayang Mahabharata dan Ramayana. Mereka, dalam kalimat lain, adalah para devian, baik dalam bentuk fisik maupun pola naratifnya. Dengan demikian, para punakawan tampaknya memang diciptakan bukan hanya sebagai selingan lucu di tengah paparan cerita yang sarat moral, heroisme, dan pasi, dan hipokrisi, melainkan juga semacam subversi terhadap tatanan.
Dalam lakon-lakon carangan, yakni kisah-kisah yang tidak didasarkan pada Mahabharata atau Ramayana melainkan kreasi para dalang sendiri, Semar atau anak-anaknya bisa berubah bentuk menjadi ksatria yang tampan. Mereka bahkan bisa pula naik ke puncak struktur kekuasaan menjadi raja seperti dalam lakon Petruk Dadi Ratu. Ketika berubah bentuk Semar dan anak-anaknya bisa memarahi, memberi kritik kepada tuan-tuan mereka, hal yang tidak mungkin terjadi dalam alur cerita yang normal. Lakon-lakon semacam itu sering ditafsirkan sebagai pesan moral bahwa rakyat adalah penguasa tertinggi, seperti pengandaian dalam teori dasar tentang demokrasi. Sosok punakawan adalah upaya untuk membentuk sebuah perasaan tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan.
Tapi invensi tokoh punakawan bisa juga dilihat dari sudut yang berbeda. Kalau benar bahwa wayang adalah kreasi para Wali penyebar Islam di Jawa, kita tahu bahwa sebagian besar dari mereka adalah bagian integral dari kekuasaan raja-raja Jawa. Jika demikian, maka patut pula diduga bahwa Semar dan keluarganya diciptakan bukan sekedar sebagai representasi dari rakyat, melainkan juga sebagai sebuah ruang untuk hal-hal yang vulgar, subversif, lucu, yang sering menyindir kekuasaan, yang tidak pantas menjadi bagian dari kehidupan keluarga kerajaan. Para kesatria adalah pribadi-pribadi yang agung, berperangai halus, santun, dan pasti berjarak dengan rakyatnya untuk menjaga wibawa dan kehormatan. Artinya, tradisi cerita wayang memberi ruang untuk kritik, untuk segala ketidakpatutan, dan untuk sikap-sikap egaliter, tapi ruang itu terpisah secara kategoris dari pusat wacana politik kekuasaan.
Tempat untuk kritik bukan di dalam lingkungan pusat kuasa tapi di pinggiran, seperti Dionysus dan para pengikutnya diseklusikan ke pinggiran kota dalam mitologi Yunani. Tuntunan yang diajarkan wayang adalah: kalau mau jadi penguasa, jadilah ksatria yang agung, santun, dan pandai menjaga wibawa; Tingkah dan ucapan yang kocak atau lucu, dan sikap egaliter bukan sikap dan prilaku para kesatria melainkan para punakawan, yang vulgar dan yang kuasanya terbatas dan lokal (bukan nasional).
Dalam wayang atau mitologi Yunani, tabiat para penguasa tetap sama saja: mereka tidak suka kepada kritik atau sindiran yang tajam dan subversif. Mereka cenderung menganggap dirinya terlampau agung, sehingga kritik kalau dibiarkan akan menganggu aura wibawanya. Kritik didasari asumsi bahwa antara yang dikritik dan yang mengkritik berada pada posisi sederajat. Egalitarianisme dalam tradisi kritik politik adalah subversi pada tatanan yang dicirikan oleh hierarki sosial yang ketat. Yang egaliter bukan sosok pemimpin yang agung, tapi tokoh-tokoh punakawan atau karakter-karakter dalam komedi, dan tempatnya bukan di kota pusat kuasa melainkan di pinggiran. Tapi mereka yang di pinggiran sesekali perlu pula dipertunjukan di kota, agar terbentuk sebuah ilusi seolah-olah seluruh warga terlibat secara bersama-sama dalam isu-isu pemerintahan. Untuk itu warga Athena memiliki tradisi festival tahunan Lenaea dan Dionysia untuk komedi dan tragedi.
Orang Indonesia tidak memiliki hal yang serupa dengan Lenaea dan Dionysia. Tapi bukankah sebuah rasa tentang keterlibatan bersama warga dalam isu-isu pemerintahan juga niscaya dibangkitkan dalam ritus lima tahunan demokrasi kita? Dalam plebisit umum lima tahunan itu kita dibuat percaya bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, meskipun dalam praktek kita tetap tinggal di pinggiran wacana kekuasaan seperti para punakawan. Dan ritus itu sudah membuktikan bahwa yang dipilih mayoritas rakyat adalah sosok yang memberi impresi kesantunan dan kewibawaan, bukan yang egaliter dan berani melakukan kritik. Saya tidak tahu apakah itu sebuah komedi atau tragedi.
Rujukan
Freydberg, Bernard, Philosophy & Comedy. Aristophanes, Logos, Eros(Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 2008).
Konstan, David, Greek Comedy and Ideology(Oxford and New York: Oxford University Press, 1995).
Neale, Steve, and Frank Krutnik, Popular Film and Television Comedy (London and New York: Routledge, 1990).
Stott, Andrew, Comedy (New York and London: Routledge, 2005).
Smiths, Sir William, Everyman’s Smaller Classical Dictionary (London: J. M. Dent & Sons, 1936).
Wagg, Stephen (ed), Because I Tell a Joke or Two. Commedy, Politics and Social Difference (New York and London: Routledge, 1998).